Catatan: Sawaludin Damopolii, Wartawan Senior malut tv.
Gong demokrasi tahun 2024 resmi ditabuh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Satu persatu tahapan Pilkada pun telah dilalui. Setelah pencabutan nomor urut, para kandidat Kepala Daerah di nusantara secara serentak menghadiri deklarasi kampanye damai yang diselenggarakan KPUD, Selasa (23/9).
Untuk Provinsi Maluku Utara tercatat empat pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur lolos ke arena perebutan puncak Gosale, Sofifi. Keempat pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 2024 tersebut, yaitu masing-masing Husain Alting Sjah-Asrul Rasyid Ichsan dengan nomor urut 1, Aliong Mus-Sahril Thahir nomor urut 2, Muhammad Kasuba-Basri Salama nomor urut 3 dan terakhir yaitu pasangan Benny Laos dan Sarbin Sehe nomor urut 4.
Seperti biasanya, untuk meyakinkan publik wabil khusus pendukungnya, masing-masing kandidat Gubernur Maluku Utara selalu menampilkan optimisme kemenangan. Akibatnya perang argumentasi dan saling klaim keunggulan antar kontestan tak terhindarkan.
Berdasarkan data KPUD Provinsi Maluku Utara, Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pilkada serentak 2024 yang dilakukan sesuai amanat PKPU No. 7 Tahun 2024 yaitu berjumlah 942.076 pemilih yang terdiri dari 484.222 laki-laki dan 457.854 perempuan dengan jumlah 2.378 TPS.
Yang menjadi pertanyaan adalah kandidat manakah yang berpeluang menduduki singgahsananya Gosale? Mari kita potret bersama. Namun sebelum menyisirnya lebih jauh, baiknya kita melihat kembali peristiwa politik di tahun 2018 silam yang diikuti Ahmad Hidayat Mus-Rivai Umar, Burhan Abdurachman-Ishak Jamaluddin, Abdul Gani Kasuba-M. Al Yasin Ali dan Muhammad Kasuba-Madjid Husen.
Pilgub 2018, pasangan AHM-Rivai menang diangka 176.993 suara (31,91%). Sedangkan urutan kedua ditempati AGK-Ali dengan perolehan suara 169.123 suara (30,49%). Posisi ketiga yaitu BUR-AJA dengan jumlah 143.416 suara (25,85%) dan posisi keempat yaitu pasangan MK-MH dengan jumlah 65.202 suara (11,75%).
Nah, dinamika dan fenomena Pilgub 2024 dengan tahun 2018 dilihat dari aspek kuantitatif nyaris tidak berbeda yaitu sama-sama diikuti oleh empat pasangan Cagub dan Cawagub. Selain itu, berdasarkan sejarah politik serta catatan rekapitulasi suara sah KPUD, partisipasi warga yang menyalurkan hak pilihnya di setiap moment Pilkada langsung hanya disekitaran 70 sampai 72 persen saja.
Artinya, pasangan Cagub dan Cawagub yang berhasil meraih perolehan suara sah sekitar 200 ribu dari 659.453 suara sah (70% dari 942.076 DPT) pada Pemilu nanti, maka dialah yang berpotensi menang dalam perebutan tampuk kekuasaan. Angka 200 ribu suara sah adalah zona aman bagi kontestan di Pilgub 27 November nanti. Pasalnya, berdasarkan perjalanan sejarah politik, belum ada kandidat dengan 4 atau lebih kontestan meraih 200 ribu suara. Ingat ya, 200 ribu suara sah adalah angka sakral bagi Cagub dan Cawagub menuju puncak Gosale.
Nah, jika demikian, maka siapakah figur diantara keempat kandidat Cagub yang berpeluang emas mendapatkan suara terbanyak di Pilgub 27 November mendatang? Mari kita maping secara umum dengan pendekatan Identitas dan Rasionalitas.
Namun sebelum membahas probalitas kemenangan calon, terlebihdahulu kita menengok dinamika politik menjelang Pilkada, terutama soal isu, opini dan narasi publik. Perang argumentasi antar pendukung atau tim sukses mulai ramai di media sosial. Dari sekian banyak isu yang mencuat, hanya dua isu politik itulah yang menonjol dan paling substansial dijadikan perang urat saraf antar pihak, yaitu isu POLITIK IDENTITAS DAN POLITIK GAGASAN.
Kedua isu central tersebut laksana kutub utara dan kutub selatan. Masing-masing bilik menyalurkan energi, memagnetik mindset penganut untuk saling mempengaruhi psikologis publik. Hal ini disebut perang udara.
Selain perang udara, masing-masing kandidat Gubernur juga nampak berlomba-lomba mengeksploitasi potensi diri dan lingkungan sosialnya. Misalnya pasangan HAS. Kandidat Gubernur nomor urut 1 ini mengeksplorasi dukungan kultural. Sebagai Kolano, Husain Alting Sjah harus jeli dan piawai menggali dan merawat kesolidan kaumnya di negeri Gamrange, yaitu Tidore, Halteng dan Halmahera Timur. Ketiga daerah teritorial kesultanan Tidore itu mengoleksi DPT sekitar 226.436 pemilih. PR untuk HAS yaitu bagaimana segmentasi sektoral kultural yang juga tersebar di sejumlah daerah seperti Ternate, Halbar Halsel, Halut, Sula dan Taliabu tergarap secara maksimal sebagai modal dasarnya menuju puncak Gosale.
Tumpahan suara untuk kandidat Gubernur nomor urut 1 ini juga diprediksi bakal terjadi di menit-menit terakhir pencoblosan. Sumber suara tak terduga itu kemungkinan besar datang dari pendukung pragmatis yang kecewa hasrat finansialnya tidak dipenuhi oleh kandidat tertentu. Dan Sultan Tidore adalah dermaga alternatif sebagai tempat berlabuhnya kaum transaksional yang kecewa itu.
Begitu juga dengan pasangan MK-BISA. Segmentasi suaranya lebih ke basis etnis. Kaum Togale kerap menjadi entitas sosial strategis keluarga Kasuba setiap moment politik. Di lain sisi, kekompakan masyarakat Togale patut diapresiasi. Meski dicecokin berbagai propaganda, mereka tetap kokoh dan berpegang teguh pada pendirian entitas sosialnya. Buktinya, mereka sukses menghantarkan AGK dua kali Gubernur Maluku Utara berturut-turut. Akankah etnis Togale yang dominan tersebar di daerah Halut dan Halsel menyatu pada pasangan MK-BISA pada Pilgub 2024?
Jawabannya ada di MK-BISA itu sendiri. Pasalnya, kasus yang menerpah AGK menjadi duri terhadap hajat dan eksistensi politik mantan Bupati Halsel dua periode. Di ranah ini kandidat nomor urut 3 ini nampaknya butuh pikiran serta tenaga ekstra untuk merestart kembali trust keluarga yang sempat merosot akibat peristiwa hukum AGK.
Basis elektoral kultur dan pendekatan etnis merupakan materi unggulan HAS dan MK-BISA untuk mendulang suara di Pilkada Gubernur mendatang.
Sedangkan Aliong Mus, meski pendatang baru di belantika politik Maluku Utara, sosok Bupati Pulau Taliabu akselerasi dan manuver politiknya patut diperhitungkan. Aliong kini menjadi figur favorit dan memiliki kans besar sebagai kuda hitam dalam perebutan kekuasaan.
Bupati Pulau Taliabu dua periode ini juga dikenal publik sebagai kandidat Gubernur berkantong tebal. Fariabel ini kemudian memicu emosional pemilih untuk bergabung diri dengan Cagub nomor urut 2 tersebut. Dan ini perlu diikhtiarkan. Pasalnya, jika kandidat didominasi pendukung dan simpatisan pragmatis, maka manajemen tim harus terukur dan terarah. Jika tidak, maka bakal melahirkan resistensi bagi kandidat itu sendiri dalam perolehan suara nanti.
Keretakan hubungan internal keluarga menjadi batu sandungan Aliong dalam Pilgub 2024. Sejauh ini, simpatisan dan loyalis AHM masih gamang dan umumnya belum berafiliasi ke Cagub lain. Jika di tengah permainan, hubungan keluarga kembali mesrah dan AHM tampil sebagai panglima tertinggi skuad AM-SAH, maka pertempuran politik menjadi tontonan menarik.
Lain Aliong lain pula Benny Laos. Cagub nomor urut 4 ini menjelang Pilkada menjadi trending topik. Selain Aliong, BL juga dikenal masyarakat luas sebagai kandidat berkantong tebal. Aliong dan Benny diidentik dengan Cagub berduit. Isu ini merebak kemana-mana sehingga banyak orang kepincut materi yang dimilikinya. Sebagai kandidat dengan entitas sosial kecil, BL harus mencari format politik yang rasional demi menutupi kekurangannya.
Dari aspek sosial, BL dan Aliong berbeda kedudukan dengan Sultan Tidore dan MK. Dalam prespektif identitas, Husain dan MK adalah tokoh yang memiliki basis sosial. sedangkan AM dan BL lebih cenderung ke segmentasi rasionalitas.
Politik is art. Politik adalah mengelola tidak mungkin (imposible) menjadi mungkin. Selamat berdemokrasi!