OPINI: Piet Hein Babua, Sosok Perintis di Balik Hilirisasi Kelapa Malut.

Bupati Halmahera Utara, Piet Hein Babua.

Pemberitaan media hari ini, menggambarkan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, sebagai motor penggerak keberhasilan hilirisasi industri kelapa. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman pun memuji sang gubernur dalam acara ekspor perdana produk olahan kelapa ke Tiongkok, di Tobelo, Halmahera Utara.

Namun, di balik gegap gempita kamera dan pidato pejabat pusat, ada ironi yang nyaris tak diberitakan: sosok yang sesungguhnya merintis gagasan hilirisasi kelapa justru tidak diberi kesempatan berbicara di panggungnya sendiri, dia Adalah Piet Hein Babua, Bupati Halmahera Utara,.

Gagasan yang Lahir dari Tanah Halmahera. Gagasan hilirisasi kelapa di Maluku Utara bukan muncul dari meja birokrasi provinsi, melainkan dari kebun rakyat di Halmahera Utara. Piet Babua, dengan pemikiran dan keberaniannya, memulai langkah itu jauh sebelum istilah “hilirisasi kelapa” populer dalam dokumen kementerian.

Sebagai bupati, ia mendorong lahirnya Peraturan Daerah tentang Hilirisasi Kelapa, satu-satunya perda di Indonesia yang secara eksplisit mengatur strategi industrialisasi kelapa rakyat. Ia tahu, tanpa dasar hukum daerah, kelapa akan tetap menjadi komoditas mentah yang hanya menguntungkan pedagang besar dan pabrik luar daerah.

Langkah awalnya adalah berani, membatasi penjualan kelapa keluar Halmahera Utara demi menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri lokal. Bagi sebagian orang, ini langkah kontroversial. Namun bagi Piet, ini soal keberpihakan. Petani harus menjadi pemain utama, bukan sekadar penonton dalam rantai pasok panjang dari Galela ke Bitung, dari Tobelo ke Surabaya.

Ia menyebut langkah itu sebagai “membalik jalan pasar” dari tanah Halmahera menuju industri Halmahera, agar nilai tambah ekonomi tetap di tangan rakyat.

Ketika Panggung Diambil Alih. Namun pada hari yang seharusnya menjadi puncak penghargaan atas kerja keras rakyat Halmahera Utara, panggung justru diambil alih oleh mereka yang datang belakangan. Saat peresmian ekspor produk olahan kelapa ke Tiongkok, Bupati Piet Babua tidak diberi kesempatan menyampaikan sambutan, padahal seluruh infrastruktur dan regulasi hilirisasi berawal dari gagasannya.

Panggung itu seolah dikonversi menjadi arena pencitraan politik. Media kemudian menulis bahwa keberhasilan hilirisasi kelapa merupakan hasil kerja keras Gubernur Maluku Utara. Tidak ada satu kalimat pun yang menyebut Bupati Halmahera Utara sebagai inisiator.

Inilah bentuk paling halus dari appropriation of effort, mengambil keringat orang lain untuk membangun reputasi diri. Dalam bahasa akademik, ini bukan hanya masalah etika, tetapi juga governance distortion: ketika distribusi penghargaan dan tanggung jawab tidak lagi seimbang dengan kontribusi nyata.

Birokrasi yang Terbalik. Fenomena ini memperlihatkan salah satu penyakit klasik dalam sistem birokrasi Indonesia, terlalu banyak panggung, terlalu sedikit empati. Kita lebih cepat memproduksi simbol ketimbang substansi. Bupati yang bekerja di lapangan sering kali tenggelam oleh gemerlap seremoni pejabat di atasnya.

Padahal, hilirisasi kelapa di Halmahera Utara adalah bukti keberhasilan kepemimpinan lokal yang berorientasi rakyat. Ia menunjukkan bahwa policy innovation tidak selalu datang dari pusat kekuasaan, tetapi bisa lahir dari pinggiran, dari seorang kepala daerah yang berani menafsir ulang pembangunan sebagai proses memandirikan rakyat, bukan sekadar menyalurkan bantuan.

Ko Piet telah membangun logika pembangunan baru, bahwa ekonomi rakyat hanya akan kuat jika negara memberi ruang bagi petani menjadi bagian dari industri, bukan objek program pemerintah. Ia menata ulang hubungan antara pemerintah dan rakyat, dari pola top-down menjadi participatory economy, sebuah model kebijakan yang seharusnya mendapat tempat terhormat dalam diskursus nasional.

Mengembalikan Keadilan Pengakuan. Apresiasi Mentan tentu patut dihargai. Namun kejujuran publik juga menuntut agar sejarah dicatat dengan proporsional. Tidak ada hilirisasi kelapa di Maluku Utara tanpa keberanian politik Piet Babua. Tidak ada industri di Tobelo tanpa regulasi daerah yang ia tandatangani.

Menepuk bahu gubernur tanpa menyebut bupati adalah bentuk ketidakadilan simbolik. Ia menghapus jejak kerja keras rakyat Halmahera Utara yang telah menyiapkan jalan bagi ekspor itu.

Hilirisasi kelapa tidak lahir dari ruang rapat atau pidato seremonial, melainkan dari tangan-tangan petani yang menjemur kopra, dari keberanian seorang bupati yang menabrak kelaziman birokrasi.

Setiap daerah membutuhkan figur seperti Piet Babua, pemimpin yang berani menantang arus, memaksa kebijakan berpihak pada rakyat, dan menolak menjadi penonton di panggung kekuasaan.

Ironinya, dalam politik lokal yang penuh sorotan, kerja keras seperti itu sering justru “dipinjam” untuk kepentingan citra pejabat lain. Padahal pembangunan sejati tak lahir dari pujian, melainkan dari ketulusan.

Sejarah akan menilai bukan siapa yang berdiri di panggung, tetapi siapa yang mempersiapkan panggung itu dengan keringat dan keyakinan. Dalam hal ini, panggung hilirisasi kelapa seharusnya ditulis atas nama Piet Hein Babua, bukan siapa pun yang datang kemudian.

Karena di balik setiap ekspor kelapa dari Halmahera, ada aroma keringat petani dan bupati yang memilih bekerja di para-para kelapa, bukan di podium. (opini/mtv)

Penulis: SawaludinEditor: Sawaludin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *