Opini  

Menuju Demokrasi Berkeadaban

(Mengatasi Tantangan Industrialisasi Politik)

Sosiolog Universitas Khairun Ternate, Dr. Syahrir Ibnu.

Catatan : Dr.SyahrirIbnu, Sosiolog Universitas Khairun Ternate

Apakah demokrasi menjadi Anugerah atau justru Petaka bagi zaman modern?

Dalam dunia dimana kekuasaan seringkali diukur dengan seberapa banyak uang yang dapat dikeluarkan, pertanyaan selanjutnya adalah Ke mana arah demokrasi kita?
Demokrasi, yang seharusnya menjadi sarana penghubung antara rakyat dan pemerintah serta memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial, tapi justru sering kali terjebak dalam mekanisme industrialisasi politik. Dalam sistem ini, kekuasaan dan kekayaanlah menjadi selalu alat tukar utama, mengesampingkan nilai-nilai moral dan etika yang seharusnya menjadi landasan dalam menjalankan pemerintahan.

Socrates dalam pemikiran modern menegaskan bahwa “Demokrasi adalah janji yang harus ditepati, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan.” Dan ketika demokrasi dipersempit menjadi produk komersial, arena politik bertransformasi menjadi sebuah transaksi, di mana suara masyarakat dianggap sebagai barang yang dapat diperdagangkan. Kampanye politik tidak lagi berfokus pada gagasan atau solusi bagi masalah rakyat, melainkan hanya pada pengumpulan uang untuk menggerakkan mesin politik.
Hal ini sejalan dengan pandangan Mounk (2018) dalam The People vs Democracy, bahwa “Ketika uang menggantikan AKAL SEHAT dalam politik, esensi demokrasi akan terkikis.” (Kerapuhan demokrasi)

Apakah kita benar-benar siap untuk membiarkan suara kita terjual di pasar politik?. Praktik politik uang tidak hanya merusak integritas pemilihan, tetapi juga menciptakan jurang antara pemerintah dan rakyat.

Saat ini, cita-cita demokrasi yang beradab terasa semakin jauh kita rasakan. Demokrasi yang beradab tidak hanya menjamin hak setiap individu untuk berpartisipasi dalam politik, akan tetapi juga menuntut agar proses politik dilakukan dengan mengedepankan moralitas, integritas dan keadilan sosial. Demokrasi yang beradab menghargai martabat manusia dan memperlakukan suara rakyat sebagai tanggung jawab yang harus dijaga, bukan sebagai alat untuk meraih kekuasaan secara manipulatif.

Grayling dalam Democracy and its Crisis (2017) menekankan bahwa inti demokrasi adalah keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Demokrasi seharusnya mendorong partisipasi politik yang terdidik, kritis dan berdasarkan etika, bukan yang didorong oleh sebuah propaganda atau iming-iming materi. Ketika demokrasi berjalan tanpa etika, ia menjadi mesin kekuasaan yang kehilangan arah moral, seperti yang terlihat dalam fenomena industrialisasi demokrasi di berbagai negara.

Maka untuk mewujudkan demokrasi yang beradab, kita perlu kembali pada prinsip dasar etika politik. Yakni transparansi, akuntabilitas dan tanggung jawab di setiap tindakan politisi dan pemimpin. Tentunya jika nilai-nilai ini diterapkan secara konsisten, maka demokrasi tidak hanya akan menghasilkan pemimpin yang kompeten, tetapi juga tentunya pemimpin yang beradab dan berkomitmen pada kesejahteraan rakyat.

Sen (2009) dalam The Idea of Justice menegaskan bahwa demokrasi yang berkeadilan adalah demokrasi yang menekankan keadilan sosial dan kesetaraan, bukan hanya sekadar prosedur formal. Demokrasi yang sejati harus memastikan bahwa moralitas, integritas dan tentunya tanggung jawab sosial menjadi panduan utama dalam setiap proses politik. Dengan demikian, kita dapat menghindari jebakan industrialisasi demokrasi yang korup dan membentuk sistem yang benar-benar mencerminkan kehendak dan aspirasi rakyat.

“Keadaban demokrasi tidak hanya diukur dari banyaknya suara, melainkan dari moralitas dalam menghormati manusia yang memegang suara tersebut.” Karena hanya dengan demikianlah kita dapat mewujudkan demokrasi yang beradab, di mana suara rakyat mencerminkan harapan, bukan hanya menjadi objek transaksi.

S’Rier

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *