Hari Kartini bukan sekadar peringatan sejarah. Ia adalah refleksi tentang siapa kita hari ini sebagai perempuan Indonesia dan siapa yang ingin kita perjuangkan di masa depan.
Sebagai perempuan yang lahir dan besar di Timur Indonesia, tepatnya di Maluku Utara, saya tumbuh menyaksikan kenyataan bahwa tidak semua perempuan memiliki kemewahan untuk bermimpi. Banyak yang masih dibatasi oleh norma, oleh keterbatasan akses, dan oleh pandangan yang menyudutkan peran perempuan. Bahkan hari ini, di saat dunia seolah bergerak cepat menuju kesetaraan, masih ada yang tertinggal. Masih banyak yang harus berjuang lebih keras hanya untuk diakui.
Namun saya memilih jalur lain. saya memilih untuk tidak menunggu kesempatan datang, tapi menciptakannya sendiri. Dengan segala keterbatasan, saya menempuh pendidikan tinggi hingga ke luar negeri. Saya meraih prestasi bukan untuk dibanggakan semata, tapi sebagai bukti: bahwa perempuan Indonesia, termasuk yang berasal dari Timur, punya potensi yang sama besarnya. Kunci dari semuanya ada pada satu hal: percaya pada diri sendiri.
Kartini pernah menulis, “Habis gelap, terbitlah terang.” Dan saya percaya, terang itu tidak selalu datang dari luar. Kadang, kita sendirilah yang harus menyalakan pelitanya.
Namun, ketika seorang perempuan berdiri dengan cahaya yang terlalu terang, itu juga kadang menyilaukan. Tak sedikit yang merasa terganggu dengan cahaya itu, bukan karena salahnya bersinar, tapi karena belum semua orang siap menerima kekuatan perempuan. Maka, kadang kita harus bijak memilih: bukan untuk meredupkan cahaya kita, tapi untuk mencari ruang-ruang yang masih gelap, tempat di mana pelita kita bisa benar-benar berarti.
Carilah ruang-ruang redup, tempat di mana perempuan lain masih mencari cahaya mereka. Hadirlah di sana, bukan untuk menunjukkan bahwa kita lebih terang, tapi untuk menguatkan dan menemani mereka menyalakan pelitanya sendiri.
Sudahkah kita ber-Kartini?
Di titik tertentu, ya, kita sudah. Sudah ada perempuan yang duduk di ruang-ruang pengambilan keputusan, sudah ada yang memimpin komunitas, yang mendobrak batas di bidang-bidang yang dulu dikuasai laki-laki. Tapi ternyata, masih banyak yang belum bisa menemukan jalannya. Masih banyak yang terdiam karena merasa tidak cukup layak. Bahkan, masih ada yang mendapatkan perlakuan tidak adil bukan hanya dari laki-laki, sistem atau budaya, tapi menyakitkannya, juga dari sesama perempuan.
Hari Kartini harusnya menjadi pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Bahwa emansipasi bukan kompetisi. Dan bahwa kita sebagai perempuan harus saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan.
Pemerintah dan Ruang untuk Perempuan
Perlu kita akui, pemerintah telah membuka banyak ruang untuk perempuan di birokrasi, pendidikan, ekonomi, dan sektor lainnya. Namun, di banyak wilayah termasuk di Timur Indonesia, akses dan peluang belum selalu seimbang. Ruang itu ada, tapi belum semua perempuan tahu atau mampu menjangkaunya. Maka ke depan, perjuangan kita harus terus berlanjut. Tidak cukup hanya membuka pintu, tapi juga memastikan bahwa semua perempuan bisa melangkah masuk dengan rasa aman, percaya diri, dan dihargai.
Sebagai refleksi kebathinan, Saya mengajak kita semua untuk kembali bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita benar-benar ber-Kartini? Jika belum, mari kita mulai dari sekarang. Dan jika sudah, mari kita ajak lebih banyak perempuan untuk ikut dalam perjalanan ini. Karena Kartini bukan hanya tentang masa lalu, ia adalah tentang kita, hari ini, esok hari dan masa mendatang. (***)
Biografi penulis:
Fitrah Ningsih adalah seorang Professional Strategic Communicator dan pendiri Global Voice Connect, sebuah platform pelatihan komunikasi publik yang digunakan untuk membantu generasi muda dari Maluku Utara dan seluruh Indonesia meraih mimpi mereka melalui penguatan kemampuan komunikasi. Ia merupakan lulusan Master of Strategic Communication dari The University of Western Australia, penerima beasiswa bergengsi Australia Awards, serta dinobatkan sebagai Western Australia International Tertiary Student of the Year.

















