Oleh: Mukhtar A. Adam, Ketua ISNU Maluku Utara
Ketika Menteri Keuangan Purbaya, menekankan pentingnya peran sektor swasta dalam menggerakkan ekonomi, jika ingin rerata pertumbuhan ekonomi di 6% (CNCCIndonesia, 11 September 2025), gagasan ini baik, pada daerah-daerah yang telah memiliki kemandirian wilayah utamanya Pualu Jawa, dengan pemain utama seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, di Sumatera seperti Meda, Padang, Palembang, yang sudah lama menikmati APBN dari pengeluaran pemerintah, maka sudah sepantasnya pemerintah lebih banyak berperan sebagai wasit, bukan pemain aktif yang boros belanja dan boros subsidi. Biarkan mesin ekonomi berputar lewat inovasi dan investasi swasta.
Namun masalah timbul ketika pandangan ini digeneralisasi untuk seluruh Indonesia, tanpa mempertimbangkan perbedaan struktur wilayah, yang berciri kepulauan dan lambat tumbuh, membutuhkan peran pemerintah dalam mendorong berbagai infrastruktur dasar, seperti Kawasan Timur Indonesia yang masih sangat timpang, tentu pemerintah tak perlu menghasibkan energi bagi daerah yang sudah berlari, tetap didorong berlari. Yang tertatih, malah diminta mengejar tanpa tongkat penyangga, tentu kita tidak lagi mempercepat pembangunan yang sudah cepat, dan memperlambat pembangunan yang sudah lambat atau kata lain jangan senang lihat daerah susah dan susah lihat daerah senang.
80 Tahun Membangun Jawa–Sumatera: Berhasil tapi Menyisakan Luka
Sejak kemerdekaan, dua pusat gravitasi investasi dan APBN adalah Pulau Jawa dan Sumatera. Jalan raya, pelabuhan, bandara, industri strategis, dan jaringan pendidikan unggul, semua terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, yang tentu menujukan hasil yang membaik Dimana Jawa dan Sumatera maju pesat dengan ketersediaan Infrastruktur memadai, didukung Fasilitas publik kelas nasional dan internasional, dan ketahanan ekonomi yang kuat.
Keberhasilan ini patut diapresiasi, Namun kesuksesan ini dibayar mahal oleh wilayah kepulauan dan daerah perbatasan yang tertinggal terlalu jauh, disparitas yang makin melebar, bukan data statestik semata tetapi realitas sosial yang menimbulkan rasa ketidakadilan historis yang terus melebar.
Jawa, “One-Man Show” Ekonomi Nasional tak akan sangup mencapai target RPJMN dalam mendorong kinerja ekonomi nasional dan upaya mencapai negara dengan berpendapatan tinggi (high Income (US$ 13.935) sulit dicapai jika distribusi ekonomi dan infrastruktur tak merata di seluruh kepulauan Nusantara.
Pulau Jawa menjadi pemain utama yang menguasai 56,68% dari total pangsa pasar ekonomi nasional, disaat yang sama alokasi Transfer ke Daerah mencapai 33,04% atau Rp. 287,16 Triliun dari pagu nasional yang tersebar pada 6 Provinsi, sedangkan Papua dan Maluku, terdapat 8 Provinsi hanya mendapatkan alokasi 88,78% atau 10,21% dari total pagu nasional, disaat yang sama alokasi belanja pemerintah pusat yang tercermin dalam APBN masih tetap didominasi Pulau Jawa dan Sumatera, sehingga sulit bagi daerah-daerah lain untuk dapat mencapai kemajuan mendekati pulau Jawa apalagi setara pulau jawa kemustahilan yang tak mungkin terjadi.
Papua, Maluku, dan Kawasan Timur lainnya diperhadapkan pada beban fiskal yang cukup besar, tak selesai hanya dengan menggunakan indeks kemahalan konstruksi yang justru memunculkan problem baru, pada wilayah gugus pulau dan tantangan geografis, sementara model perhitungan indeks dan komponen lainnya di dasari pada wilayah administrasi pemerintahan, akibatnya daerah kepulauan seperti Maluku, Maluku Utara, NTT, Kepri, Babel dan daerah Papua yang pola pemukiman di Lembah dan pengunungan yang beban fiskalnya jauh lebih tinggi dari daerah continental.
Maluku dan Papua memiliki problem mendasar dari biaya logistik di Maluku dan Papua tertinggi nasional, Pola permukiman di pulau kecil, pegunungan, dan Lembah, Akses layanan dasar sangat mahal dan sulit, dalam situasi ini, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik menjadi urat nadi pembangunan, dalam penyediaan layanan public, DAK-lah yang membiayai, Sekolah dan puskesmas di pulau terpencil, Jembatan penghubung antarlembah, Dermaga antar-pulau, Akses air bersih di daerah tertutup dan Jalan logistik pangan dan kesehatan
Tetapi apa yang terjadi ? Menteri Purbaya menghilangkan alokasi DAK bagi sebagian besar Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua dan Maluku, yang tergambar dalam alokasi TKDD Tahun APBN 2026, maka problem yang akan dihadapi kedepan Adalah Bangunan sekolah terhenti, Akses kesehatan macet, Mobilitas penduduk memburuk yang bermuara pada IPM makin merosot Artinya Keputusan Menteri Purbaya tidak secara langsung langsung menurunkan mutu modal manusia Indonesia Timur.
Sebuah kebijakan yang secara ekonomi sulit dipahami, dari sisi politik sulit diterima pada negara yang bersemboyan Negara Kepulauan dengan konsep wawasan Nusantara.
Keadilan Fiskal, mestinya menjadi keharusan dalam rumusan bernegara, yang meletakan karakteristik wilayah berbasis pemukiman penduduk bukan administrasi wilayah pemerintahan, dalam desain desentralisasi fiskal modern, alokasi APBN harus berpihak pada, daerah dengan tantangan geografis tertinggi, daerah tertinggal dan berketergantungan SDA, dan daerah dengan IPM di bawah rata-rata nasional, namun yang dihadapi saat ini, justru arah kebijakan fiskal menunjukkan, pemerataan hanya menjadi wacana seremonial, APBN kembali menjadi alat memperkuat Jawa sentrisme dan daerah kepulauan dibiarkan menjadi penonton kemajuan
Pertanyaan untuk Menteri Purbaya, Kalau pembangunan sudah begitu berhasil di Jawa dan Sumatera, yang menjadikan sektor swasta sudah kokoh mendorong ekonomi, menjadi pemain dalam distribusi Sejahtera, maka anggaran pemerintah mestinya beralih pada wilayah non Jawa yang masih tertinggal, membutuhkan sentuhan pemerintah melalui kebijakan fiskal, agar arah pembangunan bangsa mengatasi ketimpangan, menciptakan pemerataan Nusantara. (***)

















