Wajah Sherly di Ruang Medsos: Personal Branding VS Natural Opini.

Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda.

Catatan : Sawaludin Damopolii. Wartawan maluttv.com

 

Berawal dari tragedi terbakarnya speed boat Bela 72 di Kota Bobong, Pulau Taliabu. Isak tangis dan gestur kesedihan tragis seorang Sherly viral dan menghiasi layar kaca televisi nasional, media cetak dan media sosial ketika mengetahui suami tercintanya telah wafat dalam musibah tersebut.

Dari sanalah, popularitas istri mendiang Benny Laos melejit bak rudal supersonic. Setiap hari, nama dan wajah Sherly terpampang menghiasi berbagai beranda media sosial: tik-tok, facebook, instagram dan whatsapp.

Jejaring media sosial yang tersebar di berbagai daerah intens dan habis-habisan memblow-up “tragedi Bobong” yang merenggut korban jiwa. Keprihatinan dan rasa simpatik publik pun mengalir deras, memberi dukungan moral kepada perempuan cantik kelahiran 12 Agustus 1982.

Peristiwa terbakarnya speed boat Bela72 tersebut menjadi sumbu pertalian emosional antara Sherly dan netizen (masyarakat), ada yang berafiliasi secara natural-organik dan ada pula yang terorganisir rapi.

Tokoh populer negeri Kieraha, yaitu Sultan Tidore, Husain Alting Sjah dan Mantan Bupati Halsel dua periode, Muhammad Kasuba tak bisa berbuat banyak saat pencalonan gubernur Maluku Utara 2024 lalu. Kedua tokoh kaliber itu kalah telak atas Sherly Tjoanda, figur baru di pentas politik Malut.

Inilah bukti kekuatan Media sosial. Daya dorong untuk memperkenalkan identitas dan potensi diri seseorang cukup kuat. Medsos sangat berperan dalam membentuk mindset dan emosi masyarakat. Bahkan pengaruhnya pun setajam silet serta mampu menembus ruang dimensi logika.

Dengan wadah digitalisasi ini, partai, politisi dan lembaga bisa membangun citranya melalui personal branding. Dengan kemasan yang diatur rapi dan terorganisir, kita bisa memperkenalkan diri kepada dunia luar, menciptakan kesan yang konsisten dan positif dengan berbagai cara agar nampak menonjol serta berkesan.

Mantan presiden Jokowidodo adalah salah satu figur testimoni tentang betapa dasyat pengaruh media sosial terhadap karir dan eksistensi politiknya. Konsep ini kemudian mulai ditirukan oleh semua orang yang bergelut di kanca politik praktis, termasuk diantara Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda.

Media sosial dan politik laksana nilai mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Inilah fenomena baru di era digitalisasi yang tidak bisa dihindari. Arusnya cukup kuat. Jika dilawan, maka siap-siap tergilas oleh tuntutan peradaban.

Transformasi teknologi di bidang informasi dan komunikasi, yang menyeret terhadap perubahan karakter dan pola pikir seseorang dimanfaatkan secara maksimal oleh Gubernur Sherly. Media sosial kini menjadi ruang tarung propagandanya. Publik pun terbelah dua kubu, yaitu simpatisan-pendukung (pro) dan kubu kontra.

Menjadi sosok Sherly saat ini bukan sesuatu yang diperoleh secara instan. Dia melewati berbagai proses dan tentunya menguras isi kantong yang tidak sedikit. Ketenarannya dipoles dan dibentuk secara apik dan terorganisir. Branding personality-nya sukses. Hal ini bisa dilihat dengan respon netizen. Setiap kali bepergian, baik kunjungan kerja di wilayah Maluku Utara maupun luar daerah, bos Bella Hotel itu menjadi magnet serta direspon antusias oleh penggemarnya.

Juru bicara Fraksi Golkar DPRD Provinsi Maluku Utara, Cornelia Macpal dan Ketua Komisi 1 DPRD Maluku Utara, Nazla Ukhrah Kasuba menjadi bulan-bulanan pendukung Sherly di media sosial setelah mengkririk kebijakan Sherly sebagai Gubernur Maluku Utara yang gagal mempertahankan besaran anggaran sehingga APBD Malut tahun 2026 anjlok signifikan dari tahun sebelumnya. Sherly juga “diserang” dewan karena tidak menghadiri rapat paripurna.

Perspektif dewan berbeda dengan netizen: pendukung. Sosok Sherly di arena medsos menjadi ratu. Siapa saja yang mengusik keberadaan Sherly, maka mereka siap-siap dibuly habis-habisan oleh idola Si Ratu Tik-Tok.

Natural opini yang disampaikan oleh Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara pun dibalas cibiran dari “fanatisme buta”. Padahal para wakil rakyat tersebut tengah melaksanakan fungsi control normatif terhadap Sherly selaku top eksekutif. Natural opini legislatif dibuat terisolasi netizen: influenser/buzzer.

Personal branding Sherly terlalu tangguh hingga jagat maya, terutama sang pengkritik kebijakan kewalahan merasionalkan propaganda di ruang beranda. Mereka kesulitan meyakinkan publik atas argumentatifnya. Inilah sisi kelam tarung opini politik di media sosial. Seseorang jika telah jatuh cinta, apalagi sudah terjerembab dalam asmara buta, kotoran kambing pun dibilang coklat.

Namun, serapi dan seterorganisir apapun isu yang dikemas, personal branding yang diframing manis kelak rapuh oleh kebohongannya itu sendiri. Pencitraan yang direkayasa dan bersifat manipulatif, dia akan mencari jalannya sendiri. Ibarat membangun gedung bertingkat, tapi rapuh pada pondasi dasarnya suatu saat pasti runtuh. Karena selaju apapun kebohongan, tidak mengalahkan kebenaran. Bermedsoslah dengan baik serta jadilah netizen yang bijak dan cerdas. (****)

Penulis: SawaludinEditor: Sawaludin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *