(**Catatan : Dr. Syahrir Ibnu,
Dalam wacana demokrasi modern, terdapat suguhan pandangan yang sering kali memisahkan agama dari ranah publik, memandang agama sebagai urusan pribadi, sementara politik dianggap sebagai domain yang sepenuhnya sekuler.
Konsep pemisahan ini tampak jelas dalam pentas politik, di mana sering terdengar narasi bahwa dalam memilih pemimpin, kita tidak sedang memilih imam. Pemikiran ini, jika dilihat secara lebih mendalam, bisa menyesatkan, terutama dalam konteks pada masyarakat mayoritas Muslim.
Islam sebagai agama yang menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan, baik spiritual maupun sosial. Al-Qur’an tidak hanya mengatur hal-hal kecil seperti tata cara ibadah, tetapi juga menyentuh persoalan besar seperti kepemimpinan dan politik. Dalam pandangan Rahman (2017) dalam Major Themes of the Qur’an, Al-Qur’an membahas secara komprehensif berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk politik dan tata kelola kepemimpinan, menegaskan bahwa agama harus menjadi landasan bagi setiap keputusan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan kehidupan sosial politik.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan terkait pentingnya keadilan dan amanah dalam kepemimpinan. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil” (QS An-Nisa: 58).
Ayat ini memberikan panduan bahwa seorang pemimpin tidak hanya harus memiliki kemampuan teknis birokrasi, tetapi juga terkait integritas moral dan spiritual yang kuat. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Ahkam As-Sultaniyyah karya Imam Al-Mawardi (2015), seorang pemimpin bertanggung jawab bukan hanya atas urusan duniawi, tetapi juga kesejahteraan moral dan spiritual umat.
Adapun narasi yang menyebutkan bahwa kita tidak memilih imam dalam konteks politik (Pilkada) adalah upaya untuk mereduksi peran agama dalam politik. Islam memandang kepemimpinan sebagai amanah besar yang melibatkan tanggung jawab spiritual. Pemimpin bukan hanya pengelola negara, tetapi juga penjaga moralitas dan kesejahteraan umat baik di dunia maupun akhirat.
Memisahkan kriteria spiritual dari pemilihan seorang pemimpin adalah bentuk kekeliruan dari memahami ajaran Islam yang mengintegrasikan agama ke dalam seluruh aspek kehidupan.
Dalam QS Al-Baqarah ayat 208, Allah menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” Ayat ini menunjukkan bahwa Islam harus diterima dan diterapkan secara utuh, tanpa adanya pemisahan antara aspek spiritual dan sosial, termasuk dalam hal politik. Islam sebagai sistem yang sempurna memberikan pedoman bagi umat untuk menjalankan kehidupan dengan menjadikan agama sebagai rujukan utama, termasuk dalam memilih pemimpin yang adil dan amanah.
Dengan memahami relevansi agama dalam demokrasi modern, khususnya dalam konteks kelahiran Rasulullah SAW di bulan Rabiul Awal ini, kita diajak untuk kembali merenungi nilai-nilai spiritual yang diwariskan beliau sebagai pemimpin sejati, di mana tidak ada pemisahan antara kepemimpinan duniawi dan tanggung jawab moral.
Pemisahan agama dari politik, sebagaimana banyak terjadi dalam sistem sekuler, justru menghilangkan esensi dasar dari keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual yang juga memiliki tanggung jawab sosial.
S’Rier

















