TidakĀ lama lagi masyarakat Indonesia termasuk diantaranya Maluku Utara bakal melaksanakan pesta demokrasi. Ritual nasional yang digelar lima tahun sekali.
Setelah sukses melaksanakan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), rakyat Indonesia kembali diperhadapkan dengan Pilkada serentak, 27 November mendatang.
Provinsi Maluku Utara terdapat 10 daerah, yaitu 8 Kabupaten dan 2 Kotamadya yang siap melaksanakan amanat konstitusi. Dari sejumlah daerah di negeri Aljazirah Almulk yang bakal menggelar pesta demokrasi, yang paling menarik diikuti adalah Pemilihan Gubernur Maluku Utara.
Ko bisa? Lah iyalah. Pasalnya, Perebutan kursi orang nomor satu di pemerintahan negeri para raja ini kerap dihantui dinamika dan intensitas ketegangan yang tinggi.
Mulai dari pertarungan Abdul Ghafur vs Thaib Armaiyn hingga Ahmad Hidayat Mus vs Abdul Ghani Kasuba, Negeri Kieraha ini menarik perhatian Pusat. Konon kontestasi Abang Gafur dan TA saat itu dikategorikan sebagai Pilkada terlama di alam semesta.
Begitu juga Pilkada Langsung antara AHM vs AGK. Dua kali berhadapan, yaitu tahun 2013 dan 2018, dinamika politik saat itupun diwarnai PSU berulang-ulang.
Fenomena politik yang dihadapi Bang Gafur dan AHM memicu spekulasi dan persepsi publik yang beragam. Ini karena, kemenangan kedua politisi Golkar itu di masing-masing momentum Pilkada dianulir Jakarta dengan berbagai dalil.
Isu intervensi pusat santer merebak dan mencekoki nalar masyarakat wabil khusus loyalis dan simpatisannya. Maluku Utara seakan berada di genggaman pusat.
Bagi Kandidat yang tidak mendapat restu Jakarta, jangan bermimpi merebut puncak Gosale. Karena jika melawan, maka siap-siap menanggung konsekuensinya. Kekuasaan Jakarta seakan mendominasi kekuatan daerah. Mitos atau fakta?
Di musim laga 2024, terdapat sejumlah Bakal Calon Gubernur Maluku Utara yang mencuat kuat dipermukaan publik. Mereka itu adalah, Ahmad Hidayat Mus, Muhammad Kasuba, Sultan Husain Alting Sjah dan Benny Laos.
Sebagai daerah penghasil Emas, Bijih Nikel, hutan dan aneka Sumber Daya Alam yang menjanjikan, membuat Maluku Utara menjadi surganya para oligarki. Kekayaan alamnya cukup menggiurkan sehingga untuk menguasainya pun harus “selingkuh” dengan pemegang kekuasaan.
Hakikat Pilkada bukan sebatas pesta demokrasi, melainkan ajang mencari pemimpin jujur, amanah dan berani. Aspiratif dalam kepentingan rakyat. Bukan menjadi babuh nya oligarki.
Amanat konstitusi yang termaktub dalam pasal 33 ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 sangat jelas. Bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebeaar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Narasi Undang-undang tersebut manis di dengar, namun kontradiktif dengan realitas sosial masyarakat Maluku Utara sebagai daerah penghasil tambang terbedar di dunia.
Rakyat, bagaikan anak ayam kelaparan di lumbung padi. Data Badan Pusat Statistik mencatat angka kemiskinan pada Maret 2024 mencapai 83,09 ribu orang. Ironis memang. Tapi itulah realitasnya.
Jika fenomena sosial kemasyarakatan ini dipertahankan, lantas Untuk Siapa Pilkda Malut 2024 ini dilaksanakan. Bukankah panggung politik itu digelar agar melahirkan pemimpin aspiratif, yang dapat membawa rakyat tersenyum?
Semuanya kembali ke pemilik suara, yaitu rakyat. Pilkada adalah ruang filter untuk memilih pemimpin yang dapat memperjuangkan nasib rakyatnya. Bukan tempat bergurau dan lelucon. Selamat berdemokrasi. Gunakan hati dan pikiran kita demi menggapai negeri yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.(****)